.......And there's never enough time

Lama sekali blogspot ini tidak saya sentuh. Ketika semalam iseng-iseng buka my blogspot ini, ada kerinduan yang luar biasa untuk kembali mengaktifkannya. Yah, itung-itungan untuk belajar menulis dan merekam memori demi memori yang mungkin tidak bisa kita
putar kembali.
Seringkali kita membiarkan sebuah momen berlalu begitu saja tanpa makna. Momen itu tentu bisa menjadi momen yang biasa, jika kita memandangnya sebagai hal biasa. Tapi bisa menjadi luar biasa jika kita mampu menjadikannya sebagai hal yang luar biasa. Dan saya ingin bergabung dengan mereka yang bisa menjadikan sebuah momen menjadi luar biasa.
There's so much to do. And there's never enough time.

Thanks banget buat Maya yang selalu mensupport saya untuk selalu menulis dan menulis. Thanks juga atas ide-ide segarnya yang sangat inspiratif.
Keep spirit ya. Jangan pernah lelah melukis mimpi. Semua dari kita mempunyai hak yang sama untuk sukses seperti mereka. So, jangan berkecil hati...

Chris Gardner: Yakinlah, Kita Akan Bahagia


Menengok profil orang-orang sukses (IX)


Pada hari terakhir magang, Chris Gardner dipanggil oleh pihak Dean Witter. "Hai Chris, kemejamu bagus", tanya Tuan Frohm, penguji Tes Wawancara di Dean Witter. "Aku memakainya karena ini hari terakhir aku magang", Chris menanggapi datar. Tuan Frohm tertawa kecil sembari berkata, "Kamu boleh memakainya lagi. Besok hari pertama kamu kerja di sini. Selamat !". Mata Chris berkaca-kaca. Hari itu Ia bahagia sekali. Perjuangan kerasnya berakhir happy ending. Obsesinya untuk menjadi pialang saham di Dean Witter tercapai.

Beberapa tahun setelah berkarir di Dean Witter, Chris Gardner - yang berasal dari ras kulit hitam - mendirikan firma investasi Gardner Rich pada tahun 1987. Tahun 2006, Chris Gardner menjual saham minoritas di firma pialangnya dalam kesepakatan multijuta dollar.

Itulah ending dari The Pursuit of Happiness; sebuah film yang diangkat dari kisah nyata perjuangan Chris Gardner melawan kerasnya kehidupan.

Chris keluarga miskin. Perkawinannya dengan Linda –yang juga berasal dari ras hitam- dikaruniai seorang anak cerdas berambut keriting; Christhoper. Untuk menghidupi keluarganya, Chris yang bertemu dengan ayahnya pada umur 28 tahun, menjajakan mesin pemindai kepadatan tulang ke beberapa rumah sakit dan klinik kesehatan. Karena penghasilan Chris tidak seberapa, Linda pun mencari tambahan dengan bekerja di sebuah laundry.

Meski hidup serba kekurangan, Chris seorang ayah yang sangat peduli dengan pendidikan anaknya. Ia menitipkan Christopher di sebuah tempat penitipan anak yang diasuh seorang perempuan keturunan Jepang. Dengan begitu, Christopher bisa belajar bernyanyi dan menggambar.

Chris terus berpacu dengan waktu. Setiap hari Ia harus berlari mengejar bis dan mencari pelanggan. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat cepat. Sebulan, minimal 2 alat pemindai harus terjual agar bisa membayar sewa rumah dan ongkos penitipan Christopher.
Harga alat pemindai itu terbilang tinggi, yaitu 2 kali lipat dari alat biasa. Wajar jika beberapa rumah sakit menolak tawarannya. Bahkan tidak jarang dari mereka yang beranggapan membeli alat itu adalah pekerjaan yang sia-sia.

Merasa kurang bahagia bersama Chris, sang istri berniat untuk meninggalkan Chris. Chris dilematis, tapi apa daya. Ia tak bisa menahan keinginan istrinya. Ia punya satu permintaan; Christopher bisa bersamanya.

Chris pun menjadi single parent. Ia menjadi seorang ayah sekaligus seorang ibu. Meski demikian, Ia tidak pernah putus asa. Ia ingin Christopher bahagia.Ia terus berjuang meyakinkan pelanggannya untuk membeli alat pemindai tersebut. Usahanya berhasil. Dalam waktu 4 bulan, semua alat pemindai yang Ia punya habis terjual. Chris bahagia. Tabungan pun bertambah.
Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Suatu hari, otoritas pajak San Fransisco melayangkan surat pemberitahuan bahwa rekeningnya telah 'dibobol' demi melunasi tunggakan pajaknya. Tabungan pun tersisa beberapa sen. Ia tak lagi bias membayar sewa rumah dan diusir. Tragis !!!

Suatu hari Chris berdiri di depan Dean Witter dan bertemu dengan seorang pemuda perlente turun dari mobil mewah. Chris melihat orang itu berkecukupan dan sangat bahagia hidupnya. Ia pun bertanya; "Kau kerja apa?". "Pialang saham", jawabnya singkat. "Apa Aku harus kuliah untuk menjadi seperti anda?", tanya Chris. "Tidak. Kamu cukup senang berhitung dan pintar menghadapi orang", jawabnya seraya melambaikan tangan.

Pertemuan ini menjadi awal revolusi kehidupan Chris Gardner. Beberapa hari kemudian, Ia mendapatkan formulir magang di Dean Witter dan harus mengikuti tes wawancara.

Problem baru menimpa. Sehari sebelum tes wawancara Chris harus berurusan dengan pihak kepolisian karena tunggakan pajak dan tilang mobil. Karena tak bisa membayar, Ia harus mendekam semalaman di kantor polisi. Chris gusar karena besoknya (pukul 09.30) Ia harus ikut tes wawancara. Pukul 09.45 Ia dilepas dan langsung berlari menuju kantor Dean Witter. Anda bisa bayangkan apa yang terjadi. Pakaiannya sangat lusuh, bahkan kancing bajunya lepas.
Ketika masuk ruangan tes, para penguji heran dengan penampilan Chris. Namun Ia cukup percaya diri. Dengan keadaan yang tidak semestinya, Ia mengikuti tes wawancara dengan sangat baik. "Bagaimana menurutmu jika seseorang datang ke wawancara kerja tanpa kemeja. Apakah aku akan mempekerjakannya?", tanya Tuan Twistle. "Ia tentu memakai celana yang bagus", jawab Chris. Para penguji pun tertawa. "Excellent", puji Tuan Twistle, salah satu penguji Tes Wawancara. Chris merasa itu hanya ledekan. Ia pun mulai mengikuti magang. Semua peserta magang dituntut untuk mendapatkan customer sebanyak-banyaknya. Oleh instrukturnya, mereka bisa saja melakukan apapun demi menarik perhatian customernya.

Chris sangat giat. Ia berusaha mati-matian mendapatkan yang terbaik. Diantara tipsnya, Chris tidak meletakkan telpon pada tempatnya. Dengan begitu ia akan menghemat waktu 8 detik. Ia pun tidak minum, sehingga waktunya tidak terbuang di kamar mandi.

Sepulang magang, Ia masih harus menjemput Christopher dan menjajakan alat pemindai. Karena tidak punya tempat tinggal, Chris dan anaknya sering ikut antrean demi mendapatkan tempat untuk istirahat. Bahkan pernah suatu waktu Ia dan Christopher harus menginap di dalam WC terminal metro.

Singkat cerita, Chris dan Christopher mencapai titik klimaks penderitaan. Chris hanya bisa membesarkan hati anaknya. "Untuk mendapat kebahagiaan, seseorang harus berani tersiksa, kedinginan dan kelaparan sekalipun. Yakinlah, kita akan bahagia. Jangan biarkan orang lain mengatakan bahwa kita tidak bisa melakukan apapun", terang Chris. Christopher hanya bisa mengangguk dan seolah paham betul dengan maksud ayahnya.

Pada hari terakhir magang, Chris Gardner mendapatkan kabar gembira. Ia berhasil memasukkan 31 rekening dari Pacific Bell. Prestasi yang spektakuler. Ia pun menjadi satu-satunya peserta magang yang diterima kerja di Dean Witter.


Happy Ramadlan


- Happy Ramadlan -

Kepada segenap kaum muslimin di manapun anda berada

SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA

Semoga di bulan suci ini, kita bisa meningkatkan kualitas
ibadah kita secara optimal. Sungguh momen yang sangat tepat untuk
melakukan evaluasi diri dan meningkatkan prestasi.

Semoga kita termasuk hamba-Nya yang senantiasa
dalam bimbingan-Nya, amin

Cairo - Egypt


Walt Disney: Ada Harapan, Ada Kesuksesan

Menengok profil orang-orang sukses (VIII)

Kala kita memutar ulang memori masa kecil, tontonan Mickey Mouse ataupun Donald Duck mungkin yang paling lekat dalam benak kita. Rasanya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa tidak ada satupun anak-anak yang tidak mengenalnya. Film ini sangat nge-trend. Itulah masterpiece Walt Disney yang akan selalu dikenang sampai kapanpun dan dimanapun. Berbekal optimisme yang kuat untuk menjadi orang sukses, ia mampu mengakhiri 'penderitaan' panjangnya dengan happy ending.

Bagi Walt, tidak ada alasan untuk menyerah dengan keadaan. Tidak ada kemustahilan ketika seseorang masih mempunyai secercah harapan dan kemauan menikmati kisah hidup. Itulah kenyataannya. Siapa sangka, tiga binatang; bebek, tikus dan anjing yang seringkali ia jumpai kala harus bekerja keras di area pertanian milik ayahnya, menjadi ins
pirasi besar yang akhirnya melejitkan namanya sebagai The Creator of Mickey Mouse and Disneyland yang dinikmati oleh milyaran generasi di seluruh penjuru dunia. Bersama saudara kandungnya, Roy Oliver Disney, ia mendirikan The Walt Disney Company yang sangat terkenal dengan film-film, seperti Mickey Mouse, Winnie the Pooh dan taman bermainnya, seperti Disneyland dan Disney Resort Paris. ­­­

Pemilik nama lengkap Walter Elias Disney ini, lahir di Chicago, Illinois 5 September 1901 dari perkawinan blesteran Elias Disney yang berkebangsaan Irlandia dan Flora Call yang asli berkebangsaan Jerman.

Tahun 1906, keluarga Walt pindah ke Missouri dan menggarap lahan pertanian dari tanah yang telah dibelinya. Walt sangat menikmati keadaan ini. Setiap hari, ia membantu ayahnya bercocok tanam. Satu hal yang membuatnya kerasan, di lahan pertanian ini, ia menjadi familiar dengan hewan-hewan -seperti bebek dan anjing- yang setiap saat menemaninya bercocok tanam. Ada juga tikus-tikus yang acapkali membuatnya jengkel ka
rena menyerang pertaniannya. Ketiga hewan inilah yang selalu melekat dalam benaknya dan memberikan pengaruh yang luar biasa dalam karirnya.

Beberapa saat kemudian, Elias merasa bisnis pertanian tidak lagi
menjanjikan. Ia mengalami beberapa kali gagal panen. Keadaan ini membuatnya harus banting setir dan menekuni dunia baru; perusahaan koran. Demi menghemat pengeluaran, Elias mempekerjakan anaknya, Walt Disney dan Roy Disney untuk menjadi pegawai tetapnya. Setiap hari, keduanya harus bangun pukul 03.0 Dini Hari untuk menunggu truk pengangkut barang. Tidak jarang, mereka sering menggigil karena menahan hawa udara yang dingin menusuk di saat harus mengangkat barang-barang yang beratnya tidak sebanding dengan berat badannya.

Walt berfikir; sampai kapan akan seperti ini? Di sela-sela 'kerja keras'nya, ia selalu menaruh harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Setelah mendapat ijin ayahnya, Walt mencoba masuk dinas ketentaraan. Baginya dinas di tentara lebih menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Umurnya yang masih di bawah 16 tahun, membuatnya ditolak di kedinasan itu dan ia harus puas dikirim ke Perancis dengan hanya sebagai sopir ambulance di sebuah organisasi Palang Merah. Tidak lama kemudian, ia kembali ke daerah asalnya.

Berbekal kelihaiannya membuat gambar-gambar animasi, Walt bergabung di perusahaan periklanan, Laugh O-Grams yang tidak lama kemudian pailit.

Putus asakah Walt? Tidak. Sadar akan kondisinya yang selalu 'menderita', ia mencoba berangkat ke Hollywood untuk mengadu nasib. Ia berharap kehidupannya akan menjadi lebih baik. Dengan modal USD 20 hasil utang dari Roy, ia berangkat. Sesampainya di sana, tidak ada satupun studio yang mau mempekerjakan dia -sekalipun pekerjaan kasar- karena persaingan sangat ketat. Di lain sisi, Walt belum berhasil meyakinkan bahwa orang tidak akan salah dengan memilihnya. Ia pun kemudian membeli beberapa kertas kosong untuk digambari kartun.

Setelah menyelesaikan beberapa lembar, ia sodorkan ke salah satu studio. Di luar dugaan, kartunnya mendapatkan respon luar biasa. Ia pun dipercaya langsung menggarap cerita kartun bergerak dengan tajuk Alice in the Wonderland dengan harga USD 1500. Karena sukses tayang di beberapa bioskop di Amerika, Walt mendapatkan royalti yang jumlahnya sangat besar. Perlahan-lahan, hidupnya mulai menjadi lebih baik. Berangsur-angsur, ia mampu membeli rumah dan membuat studio sendiri. Akhirnya, ia menikahi seorang gadis pujaan bernama Lilia Bounds dan dikarunia satu anak perempuan bernama Diane. Namun ia mengadopsi satu anak lagi bernama Sharon.

Tahun 1920 Walt remaja mulai membuat kartun Mickey Mouse yang akhirnya bisa diputar dalam serial film-film pendek.
Tahun1932, film kartun hasil produksinya yang berjudul Flower and Trees (film kartun berwarna pertama) memenangkan Academy Awards yang pertama untuk studionya. Lima tahun kemudian meliris The Old Mill.

Walt pun mengembangkan kemampuannya dengan membuat animasi lain seperti Snow White and the Seven Dwarfs yang merupakan animasi dengan musik pertama yang diputar di Carthay Theatre, Los Angeles pada 21 Desember 1937. Film ini diproduksi dengan biaya di bawah USD 1.499.000. Film-film ini mendapatkan respon luar biasa dari masyarakat. Dalam waktu 5 tahun, studio Walt sudah banyak memproduksi bermacam-macam film animasi antara lain Pinoccio (1938) dan Bambi (1942).

Merasa mampu menekuni dunia hiburan, Walt berspekulasi membeli kebun jeruk seluas 730.000 m2
guna pembangunan taman hiburan Disneyland. 17 Juli 1955, untuk pertama kalinya Disneyland dibuka di Anaheim, California (28 mil dari Los Angeles). Disney merupakan taman rekreasi yang pertama didirikan dan menjadi salah satu taman hiburan yang paling banyak dikunjungi di seluruh dunia. Seiring dengan meningkatnya jumlah pengunjung, dibangunlah Route 101 untuk mengantisipasi membludaknya arus lalu lintas yang hendak menuju Disneyland. Pasca rekonstruksi, pada tangga 18 Juli 1955, tempat hiburan itu dibuka kembali. Beratus-ratus orang sudah mengantre masuk sejak jam 2 pagi. Tiga pengunjung pertama yang akhirnya diberi bonus tiket gratis masuk disneyland di seluruh penjuru dunia oleh Walt adalah David Macpherson, Michael Schwartner, dan Christine Vess.

Prestasi yang menakjubkan. Ia pun bisa meninggalkan dunia dengan tenang pada 15 Januari 1966. Jasadnya dikremasi di Forest Lawn Memorial Park, Glendale, California.

Tahun 1984, seorang berkebangsaan Amerika, Michael Esiner menyewa The Walt Disney Company. Dalam perkembangannya, Disney tidak hanya menggarap kartun dan dunia hiburan. Disney juga merambah radio (Disney Radio) dan TV's The Disney Channel.

Pada tahun 2007,
The Walt Disney Company mengalami peningkatan laba sebesar USD 500 juta hasil dari pengoperasion studio Disney untuk pengambilan film Pirates of The Caribbean. Dan Disney Channel mengalami peningkatan laba sebesar 24 %

Inilah kisah perjuangan panjang Walter Elias Disney. Sampai kapanpun, generasi di dunia ini akan selalu menikmati kebahagiaan dengan menikmati goresan lembutnya yang menghasilkan Mickey Mouse, Donald Duck, Goofy, Pluto, Winnie the Pooh, Pinoccio, Princess Jasmine dan sebagainya.

-Disarikan dari berbagai sumber-

Virgin: Memahami Selera Pelanggan

Menengok profil orang-orang sukses (VII)

"Screw It, Let's Do It". Itulah motto hidup Richard Branson, sang pemilik Virgin Group. Awalnya, virgin adalah nama sebuah produksi rekaman kecil-kecilan yang dirintis Richard pada tahun 1970. Pada perkembangannya, Virgin kemudian menjelma menjadi perusahaan raksasa yang kini telah memiliki lebih dari 200 perusahaan yang tersebar di berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Virgin semakin mengepakkan sayapnya di tengah dinamika bisnis yang hiperaktif ini dengan merambah beragam jenis usaha, mulai dari produksi rekaman, penerbangan, operator telepon, wedding organizer hingga resort mewah. Sang empunya pun masuk dalam deretan milyader papan atas dengan total kekayaan berkisar 2,8 milyar pundsterling. Siapakah sosok Richard Branson?.

Pria berkebangsaan Inggris yang lahir pada 18 Juli 1950 ini adalah seorang entrepreneur gigih. Dia dikenal sebagai usahawan yang tidak pernah puas dengan apa yang dia dapat. Ketika berhasil meraih satu bidang usaha, pada saat yang bersamaan ia selalu percaya bahwa semakin banyak lagi peluang yang dapat diraihnya. Dengan prinsip, 'there is nothing permanent except change', Richard selalu berusaha menciptakan impian-impiannya.

Sejak kecil, ia menderita penyakit disleksia. Disleksia adalah sebuah kondisi dimana seseorang tidak mampu belajar dengan baik, karena ia sangat lemah ketika melakukan aktifitas membaca dan menulis. Begitu juga dalam menganalisa. Karena penyakit itulah, semua guru di sekolahan mengira bahwa Richard adalah anak bodoh yang sangat malas. Sadar akan kelemahaannya, ia pun segera bangkit dan menghafal semua pelajaran yang dia terima di sekolah.

Dengan status tidak lulus SMA, Richard mengelola majalah Student pada umur 16 tahun. Ketika usianya menginjak 20 tahun (1970), ia mulai merintis bisnis rekaman yang diberi nama "Virgin". Bisnis pertama yang mengambil tempat di Jalan Oxford, London itu ditekuninya dengan sangat cermat.

Sebenarnya, Richard bukanlah orang yang memiliki pengalaman berbisnis yang baik. Lantas, apa modal untuk melakukan inovasi bisnis?. Ia sangat yakin bahwa -dalam dunia bisnis- ketika seseorang bisa memenuhi keinginan pelanggan, maka impian sebesar apapun akan segera terwujud. Di sinilah Richard memandang perlunya hospitality (pelayanan). Karena -menurutnya- yang menggaji kita tidak lain adalah pelanggan kita sendiri. Baginya, kenyamanan dan kepercayaan seorang pelanggan adalah hal terpenting. Silahkan anda buktikan; bagaimana kesan ketika memasuki counter-counter Virgin?. Warna merahnya yang sangat dominan nan elegan di seluruh ruangan plus sapaan ramah sales-nya, membuat kita begitu nyaman dan ingin berlama-lama di sana. Dari 'menu' yang disediakan nampak sekali bahwa Richard Branson paham betul bagaimana cara memuaskan customer.

Dengan tekad dan nyali yang kuat kemudian Richard mencoba untuk merambah ke area lain. Setidaknya Virgin -yang mulanya menjadi nama produksi rekaman- kini mempunyai 11 jenis usaha, yaitu Virgin Atlantic (penerbangan), Virgin Megastore (supermarket musik), Virgin Books (buku dan majalah), Virgin Credit Card (Kartu Kredit), Virgin Holidays (paket tour), Virgin Trains (kereta api), V2 Music (produksi musik), Virgin Active (fitness), Virgin Galactic (penerbangan), Ulusaba (permainan dan hiburan), dan Necker Island (pulau pribadi yang dikomersilkan).

Satu hal yang menarik, bapak dua anak -yang mendapatkan gelar bangsawan dari Kerajaan Inggris pada 1999- ini begitu mantap menambah deretan jenis usahanya tersebut karena terinspirasi oleh fenomena yang ia temui dalam kesehariannya. Dalam keadaan ini, Richard selalu merenung bahwa seseorang sedang membutuhkan sesuatu. Di sisi lain, datanglah 'kekuatan dewa' yang meyakinkannya bahwa ia mampu 'melayani' customer dengan baik. Misalnya inovasinya menambah bar berdiri (stand-up bars). Dalam salah satu perjalanan pesawat, Richard melihat seorang gadis cantik duduk di seberang seat-nya. Ia pun berkenalan dan akhirnya mereka sangat 'intim'. Ia melihat bahwa dalam keadaan itu, seseorang membutuhkan fasilitas berintim yang nyaman. Dari sinilah Richard terinspirasi untuk memperkenalkan bar berdiri di Virgin Atlantic.

Pada tahun 1992, waralaba Virgin di jual kepada THORN EMI senilai USD. 1 Billion. Laporan pembukuan tahun 2002 menunjukkan bahwa total penjualannya pada tahun tersebut mencapai 4 miliar poundsterling.

"Selepas bangun tidur di pagi hari, saya selalu suka merancang mimpi indah.
Terlalu sayang untuk melewatkan mimpi-mimpi indah itu. Ketika Anda mempunyai mimpi dan tekad, yakinlah semuanya akan terjadi".
-Richard Branson-

-Disarikan dari berbagai sumber-

Oprah Winfrey; Tidak Ada Alasan Meratapi Nasib

Menengok profil orang-orang sukses (VI)

"Meratapi nasib tanpa usaha adalah tindakan bodoh. Ketika anda menginginkan kehidupan yang lebih baik, berjuang keras dengan mental baja adalah kuncinya"

Begitulah kira-kira yang dituturkan Oprah Winfrey menanggapi pertanyaan salah satu pemirsa tentang tips suksesnya. Oprah Winfrey adalah host pada "The Oprah Winfrey Show", acara Talk Show paling bergengsi yang dinikmati oleh pemirsa dari segala penjuru dunia.

Saat ini, dunia kembali dibuat kagum oleh sosok Oprah. Bagaimana tidak. Tahun ini perempuan berkulit hitam kelahiran Kosciusko, Mississippi, Amerika Serikat, 29 Januari 1954 itu, kembali masuk daftar 100 tokoh dunia paling berpengaruh. Itu berarti, ia masuk dalam 'barisan bergengsi' tersebut lima kali berturut-turut versi majalah Time.


Bagaimana kisah perjalanannya?. Mari kita simak.

Tokoh bernama lengkap Oprah Gail Winfrey ini lahir dari pasangan Afro-Amerika. Ayahnya mantan serdadu yang kemudian beralih profesi sebagai tukang cukur dan ibunya sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Menurut pengakuan orang tuanya, nama yang sebenarnya bukanlah Oprah, tapi Orpah sebagaimana termaktub dalam Alkitab. Karena bidan yang menulis namanya salah mengeja, akhirnya nama ini 'salah kaprah'. Dan kini ia terkenal dengan nama 'salah' tersebut; Oprah

Oprah kecil hidup di tengah keluarga miskin. Ketika orang tuanya pisah, Oprah diasuh oleh neneknya di suatu kawasan kumuh di Amerika. "Ia anak yang cerdas dan sangat haus dengan ilmu", tutur neneknya. Di umur 3 tahun, perempuan yang hobi membaca ini telah mampu membaca Injil dengan sangat lancar. Menurutnya, "membaca adalah gerai untuk mengenal dunia".

Kenyataan hidup yang dilaluinya sangatlah pahit. Saking miskinnya, ia harus tinggal di dalam satu kamar bersama ibu dan saudara tirinya, laki-laki dan perempuan. Ibunya yang harus sibuk menjadi PRT, membuat Oprah kurang kasih sayang. Setiap hari, si ibu mempercayai sepupunya untuk menjaga Oprah. Namun malang. Di umur 9 tahun, Oprah mengalami pelecehan seksual. Ia diperkosa ramai-ramai oleh 'penjaga'nya itu bersama rekan-rekannya. Karena kejadian itulah, kehidupan Oprah menjadi semakin tidak terkendali. Puncaknya, Oprah hamil pada umur 13 tahun. Namun bayinya meninggal beberapa hari setelah dilahirkan.

Ia cukup sadar bahwa hidupnya hancur dan selalu ditemani dengan sial. Ia pun sadar bahwa untuk merubah keadaan, diperlukan kerja keras dan tekad yang kuat. Oprah lari ke rumah ayahnya. "Ia seorang ayah yang sangat keras dan disiplin. Namun saya menikmatinya karena saya sadar hal itu kelak membuatku menjadi wanita percaya diri dan berdisiplin tinggi", tuturnya mengenang memori masa itu. Ia berterima kasih kepada ayahnya dan berjanji bahwa suatu hari nanti, ia akan menjadi tokoh yang diperhitungkan dunia.

Ketika SMA, prestasi Oprah sangat membanggakan. Karena prestasi itulah, ia bisa menginjakkan kaki di Gedung Putih (White House) di usia belia untuk mengikuti Konferensi Pemuda. Ia pun mendapatkan bea siswa atas pidato yang ia tulis; "Orang Negro, Konstitusi dan Amerika Serikat". Ia juga pernah memenangkan kontes kecantikan. Dari situlah ia mulai menjadi sorotan publik.

Oprah memulai karirnya sebagai penyiar radio lokal saat di bangku SMA. Bayarannya USD. 100/minggu yang terhitung besar untuk tahun 1970-an. Pada umur 19 tahun, dia menjadi wanita negro pertama dan termuda sebagai pembaca berita di sebuah stasiun radio lokal. Pada tahun yang sama, ia menjadi penyiar berita di stasiun televisi di Neshille. Sadar akan kemajuan yang dicapai, Oprah terus berupaya seoptimal mungkin mengembangkan karirnya dan mewujudkan 'mimpi besar'nya. Gayung bersambut. Ayahnya mendukung penuh apa yang ingin ia capai. Oprah pun pindah ke Chicago.

1976 menjadi detik penting yang mencuatkan namanya. Bertindak sebagai host pada acara Talk Show yang diberi nama "People Are Talking", Oprah tampil sangat memukau. Ia mampu memenuhi selera pemirsa yang menyukai lelucon yang berkualitas. Praktis, Oprah pun menjadi idola.

Pada 1983, Oprah menjadi host di WLS-TV program AM Chicago, sebuah program perbincangan berating sangat rendah saat itu. Acara ini mendapatkan saingan ketat dari Phill Donahue Show yang sudah lebih dulu populer. Meskipun Pill raja TV, namun dengan nyali kuat dan skill yang teruji, Oprah hanya butuh 'sedikit gerak' untuk menggeser posisi Phill. Dalam waktu singkat, Oprah menjadi bintang di 120 kota besar di Amerika.

2 tahun kemudian, nama acara tersebut diubah menjadi "The Oprah Winfrey Show", yang kemudian mulai disiarkan secara nasional pada 8 September 1986. Acara ini diproduksi oleh perusahaan sendiri yang bernama Harpo Production, Inc (diambil dari kebalikan nama Oprah).

Kini, program tersebut menjadi favorit dan telah disiarkan di 126 negara. Bahkan, acara ini telah mengantongi kontrak untuk diproduksi hingga 2011 mendatang. Acara ini ditonton oleh lebih 48 juta pemirsa setiap minggunya.

Latarbelakang kehidupannya yang miskin, rawan kejahatan dan diskriminatif mengusik hatinya untuk berupaya membantu sesama. Maka tidaklah mengherankan kalau acaranya sarat sekali dengan nilai kemanusiaan, moralitas dan pendidikan. "Ketika saya berhasil mengajak seluruh pemirsa televisi untuk mensukseskan program tersebut, maka akan dengan mudah saya bisa muwujudkan impian besar; membantu mereka yang tertindas", ungkapnya. Cita-cita yang sungguh mulia.

2 Januari 2007, Oprah meresmikan sekolah khusus anak-anak perempuan di salah satu kota di Afrika Selatan. Ia menyishkan 20 juta poundsterling atau Rp. 340 milyar dari kekeyaannya. "Dengan memberi pendidikan yang baik bagi mereka, kita akan mulai mengubah nasib sebuah bangsa", harapnya.

Kawan-kawan, kita bisa lihat. Betapa Oprah Winfrey yang dulunya berangkat dari kaum minoritas (kulit hitam) yang miskin, teraniaya dan praktis sebagian besar bagian hidupnya dijalani dengan sangat pahit, akhirnya bisa bangkit. Pemandangan yang sangat menakjubkan. Di samping menjadi host papan atas dunia, ia pun menduduki peringkat teratas sebagai orang terkaya dari dunia hiburan dengan total kekayaan sebesar USD. 1,5 miliar. Ia mendapatkannya tentu tidak dengan gratisan. Tekad kuat untuk merubah nasib buruk, menuai hasil. Oprah yang dulunya miskin dan teraniaya, kini menjadi tokoh penting yang sangat diperhitungkan. Ia pun sempat menjajal akting di sebuah film. Kini, piagam-piagam penghargaan bertaraf internasional menghiasi lemarinya.

"Menjadi seorang tokoh bukanlah hal mustahil. Sekalipun kita hanya memiliki
sedikit sekali kelebihan, yakinlah bahwa itu sudah cukup menjadi modal anda
untuk masuk dalam deretan tokoh seperti yang anda kagumi. Dengan catatan, anda melakukannya dengan penuh keyakinan. Jangan melakukan tindakan bodoh dengan hanya pasrah meratapi nasib"
.


Itulah pesan mulia yang ia sampaikan kepada pemirsa di seluruh penjuru dunia. Tekad yang kuat dan kerja keraslah yang membuat "The Oprah Winfrey Show" menjadi acara Talk Show paling bergengsi di dunia. Sang ayah boleh tersenyum melihat prestasi si Oprah cerdik.

-Disarikan dari berbagai sumber-

Mempertanyakan Konsistensi Keislaman Kita

Sabtu (14/4), tepatnya di sebuah halte bus di kawasan Nasr City, saya terlibat perbincangan hangat dengan seorang kawan yang baru saja saya kenal. Belum genap seperempat jam mengenalnya, saya sudah 'dihardik'. Santai saja. Hardikannya kali ini tidak membuat muka saya lebam. Hanya, ada sisa-sisa 'lebam' rasa yang masih belum pulih. Saya menginginkan kisah ini bersambung entah kapan.

Membincang tema keislaman rentan menimbulkan resistensi kalau tidak dilandasi dengan itikad baik melakukan dialog (hiwar). Kalau tidak ada landasan itu, ujung-ujungnya pasti ada pihak yang kebakaran jenggot, termasuk yang saya alami. Akhirnya, selalu ada pihak yang sentimentil.

Ceritanya begini...

Sambil menunggu bis, saya membaca koran yang baru saja dibeli seorang kawan. Ada kolom menarik yang mengangkat tentang isu Keislaman. Hal penting yang saya garis bawahi, si penulis mengkritisi sikap umat Islam yang sangat lembek dan tidak konsisten dalam melempar wacana. Ia menegaskan, seringkali sikap kita (baca; umat Islam) cenderung nekat. Misalnya hobi demo, tapi target yang dicapai ambigu. ini contoh kecil yang diangkat. Kontan, saya pun berseloroh kepada kawan yang duduk di sebelah; "Orang Islam memang harus disindir dengan cara ginian biar mereka ngga 'ngigau' terus". Kawan saya hanya bisa tersenyum simpul.

Nampaknya, selorohan ringan dan innocent itu memancing perhatian seseorang yang kebetulan juga duduk di dekat saya. Dia senewen. Setelah kenalan dan ngobrol ringan, dia mengawali pembicaraan. "Maaf, boleh tahu apa yang barusan anda ucapkan", tanyanya setengah menyelidik. "Bagian yang mana?", tanyaku sambil canda. "Orang Islam ngigau?. Kok ada kesan anda mendiskreditkan umat Islam", jawabnya ketus. "Sorry, saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya merasa gundah melihat sikap umat Islam yang cenderung tidak konsisten. Mereka hanya berwacana. Tapi dalam tataran praksis, mereka kelimpungan tak berdaya", responku singkat.

Nampaknya respon itu semakin membuat dia senewen. "Kalau dikatakan tidak konsisten, bagian mana?", tanyanya. "Terlalu banyak untuk diungkap. Persoalannya sangat kompleks dan mengglobal", jawabku datar.

Akhirnya, ia angkat bicara dan sangat lantang mengumpat Amerika dan Israel. Saya diam sembari menyeleksi makna kata demi kata yang dia lontarkan. Lagi-lagi, ia mengangkat kembali perlunya boikot produk Amerika, Yahudi dan konco-konconya. Menurutnya, umat Islam tidak ada keberpihakan terhadap masa depan Islam. Mereka terlalu 'bergantung' kepada Amerika dan sekutunya.

Sebenarnya saya cukup malas membincang tema ini. Tapi, liat style-nya yang sok mantap, saya terpancing untuk angkat bicara.

"Pernahkah kita berfikir; kenapa umat Islam bergantung pada mereka", tanyaku bersemangat. Dia diam dan menerawang kosong ke depan. Nampaknya sedang memikirkan sesuatu.

Merasa dapat kesempatan, saya pun gantian nyerocos.

Saya hanya menegaskan bahwa kalau boikot produk dianggap sebagai barometer perjuangan umat Islam, tentu terlalu simpel. Persoalan umat Islam sudah semakin mengglobal. Hemat saya, ada yang rancu dalam usaha pemboikotan (muqata'ah) produk tersebut. Sikap ini terkesan dipaksakan dan menunjukkan bahwa umat Islam tidak konsisten dalam menentukan sikap. Kalau memang mau boikot, kenapa sich tidak ada upaya keras untuk meningkatkan kualitas produk sendiri. Sehingga umat Islam betul-betul bangga mengkonsumsi produk tersebut.

Selama ini,
watak kita disetting sebagai konsumen alias cukup puas menerima sesuatu yang instan. Akhirnya, tanpa disadari kita dibuat tergantung terus kepada mereka. Persoalannya, mereka memang mampu dan kita cukup sadar bahwa umat Islam tertinggal jauh. So, butuh tekad yang kuat dan waktu yang cukup untuk mengejar ketertinggalan itu.

Untuk menguatkan hal tersebut, saya pun mengkritisi demo-demo yang digelar atas nama Islam. Pelbagai spanduk yang isinya membela Islam, menghiasi hampir setiap demo yang ada. Pertanyaannya; salahkah kalau saya mengatakan bahwa bukan Islam yang harus diselamatkan, tapi diri kita yang sebenarnya telah melalaikan Islam itu sendiri?. Tidak ada yang salah dalam Islam. Dimanapun dan sampai kapanpun, ajaran Islam tetap menjadi penyelamat dan pemersatu umat. Pertanyaannya kemudian; sudahkan kita menunaikan ajaran keislaman itu secara disiplin?.

"Ini koreksi buat kita semua sebagai umat Islam demi mempertanyakan sikap dan manuver kita yang acapkali mencatut segala aktifitas atas nama agama", tegasku sembari mengakhiri komentar.

Setelah nyerocos kesana-kemari, bukan respon, tapi pamitan yang saya dapat.

"Malisy (sorry), kapan-kapan kita lanjutkan. Saya harus segera pamit karena bis yang saya tunggu sudah datang. Boleh minta nomer HP dan email", pintanya sambil bersiap-siap menunggu bis. "Silahkan", jawabku sembari menyodorkan selembar kertas yang berisi nomer HP dan email.

Bagi saya, kejadian ini bukan yang pertama. Mungkin anda pun pernah menemui hal yang sama, atau bahkan lebih parah. Inilah kenyataan. Seringkali idealisme kita tidak singkron dengan apa yang seharusnya dilakukan. Niatan baik seringkali menjadi bumerang yang tidak pernah kita sadari.

Kita seringkali silau dengan identitas keislaman kita tanpa peduli dengan kualitas identitas kita tersebut. Tanpa sadar, kita masih jauh di bawah rata-rata layaknya seorang muslim. Muslim yang menanamkan ajaran Islam secara disiplin. Ajaran Islam sangatlah universal. Karenanya, responlah fenomena global dengan tekad yang kuat untuk mengukir prestasi, bukan dengan sikap yang selalu underestimate dan sentimentil kepada yang lain.

Kawan-kawan, saya tidak ingin cerita ini dianggap sebagai bentuk kepongahan. Terserah apapun komentar anda, yang jelas, cepat atau lambat, kita harus segera bangun dari tidur nyenyak. Tantangan ke depan semakin berat dan persaingan pun sangat ketat. Ini butuh nyali dan modal yang kuat. Karenanya, marilah kita jadikan ajaran Islam sebagai way of life yang senantiasa menjaga konsistensi kita sebagai muslim.